Gadis Kecil Ditepi Gaza




Ketika hari menjadi tua, langit merah mengantarkan matahari meluncur keperaduannya di tepian barat kota ini. Gadis-gadis kecil berkerudung compang-camping berlarian masuk kedalam rumah, takut-takut kalau malam tiba nanti kidung rindu dari Ummi mereka tak akan lagi mereka dengar di keesokan harinya karena gempuran rudal dari pesawat tempur Israel yang menimpa tempat mereka bernaung. Tak ada angin, hanya desingan suara rudal-rudal yang ditembakkan menggelegar menghiasi langit kota Gaza yang seharusnya di naungi oleh bintang rembulan. Satu rudal meledak, disusul 2, 3 hingga 5 rudal berikutnya. Setidaknya sudah lebih dari 80 rudal yang Aisha dengar dalam kurun waktu 2 jam ini.
“Ummi, Aisha takut!,” kata Aisha memeluk Umminya.
“Jangan takut sayang, kita kan bersama Allah?,” jawab Ummi menenangkan.
“Ummi, Abi mana Mi?,” tanya Aisha.
Ummi terdiam, menatap kosong langit memerah di luar sana. Ummi bukannya ingin membuat Aisha semakin penasaran dengan tak menjawabnya. Haruskah gadis sekecil ini tahu bahwa di luar sana dunia ini begitu kejam?.
“Ummi?,” tanya Aisha ingin tahu.
“Abi...,” kata-kata Ummi terputus.
Duarrr....!!!
Dan sekali lagi, suara itu menggelegar di kawasan Al-Nasser, Kota Gaza. Kawasan yang merupakan salah satu dari 80 target sasaran operasi militer yang berhasil di bombardir dengan jet-jet tempur Israel Minggu sore itu.
Aisha memeluk Umminya semakin erat.
“Ummi, kenapa Allah mengambil Abi, Kak Ammar dan Kak Jabal dari Aisha? Kenapa Mi?,” seru Aisha.
Ummi mengelus kening Aisha, menatap bola mata cintanya yang mengerjap-ngerjap ingin tahu. Aisha mengerti maksud Ummi, Aisha tahu bahwa Ummi tak mau ia mempertanyakan kenapa Abi, Kak Ammar dan Kak Jabal pergi.
“Belum saatnya Nak, hingga engkau harus mengerti,” kata Ummi dalam hati.
Sebenarnya ada ribuan cara agar Aisha bisa mengerti dengan lebih arif masalah ini. Bahkan mungkin dialah gadis kecil yang kelak akan menjadi pejuang sejati yang berkobar di barisan terdepan menentang penindasan ummat manusia yang menghiasi sejarah Kota Gaza.
Dua malam sudah dilewatkan Aisha tanpa Abi, Kak Ammar dan Kak Jabal. Terakhir kali Aisha bertemu mereka adalah ketika usai shalat Jum’at dengan mencium kening Aisha mereka pergi dan hingga pagi ini Aisha tak lagi melihatnya. Mereka tak memberi tahu Aisha, hanya bisikan kecil Abi ditelinga Aisha yang masih di ingatnya, “Aisha, janji sama Abi ya? Besok Aisha akan menemui Abi di surga”. Tantang Abi. Aisha tak mengerti apa maksud perkataan Abi. Yang Aisha tahu hanyalah Abi tak pernah lagi murroja’ah dengan Aisha. Abi tak pernah lagi membersamai Aisha dalam dongeng sebelum tidur. Dan yang paling Aisha rindukan adalah, Aisha tak pernah lagi mendengar lantunan suara merdu Abi dalam tilawahnya.
Malam di Gaza tak pernah menyurutkan operasi militer zionis laknatullah itu. Justru malam bagi mereka adalah dawai kematian bagi rakyat Palestina dan pejuang Hamas. Suara rudal silih berganti menerjang kawasan tepi Barat Gaza yang mereka sinyalir menjadi pos-pos pejuang Hamas. Sebegitu pengecutkah mereka? Hingga untuk melumpuhkan seorang pejuang Hamas puluhan rudal dan jet tempur mereka kerahkan.
Abi, Kak Ammar dan Kak Jabal adalah satu diantara tentara Allah yang tergabung dalam pejuang Hamas untuk menentang penindasan umat ini. Ummi tahu betul apa itu arti kata ridho, ketika ia dengan ikhlas merelakan Abi dan kedua putranya ikut serta dalam barisan jihad itu. Ummi tahu bahwa pertolongan Allah itu pasti, Ummi ingin menyaksikan bala tentara Allah itu menghadang pasukan musuh di barisan terdepan. Sekarang Aisha mengerti kenapa Ummi tak mau Aisha membenci Allah karena Abi, Kak Ammar dan Kak Jabal kembali kepada-Nya.
Sementara jauh di tepian barat Gaza beberapa jam setelah rudal ditembakan dari jet tempur Israel yang menghantam rumah bertingkat dua itu, tim medis, regu penyelamat dan sejumlah warga berusaha menyingkirkan puing-puing dan mencari korban yang tertimbun di dalamnya. Peluh membasahi tubuh Ammar yang dari tadi tak henti memindah tumpukan puing-puing.
“Kita harus  pulang ke Al-Nasser malam ini!,” seru Abi mengagetkan Ammar dan Jabal.
“Yang benar Abi?,” tanya Jabal.
“Benar Nak, Ummi dan Aisha berada dalam keadaan bahaya di sana,” kata Abi.
“Bukankah, disana kompleks warga sipil Bi’?, mereka tak seharusnya menyerang kawasan itu,” Kata Ammar menyanggah.
“Tidak ada yang tahu Nak, hingga rudal itu benar-benar dijatuhkan, saat ini berbagai macam alasan bisa saja mereka sampaikan untuk membentengi diri,” kata Abi menegaskan.
“Baiklah Abi, kalau itu yang Abi kehendaki, kami siap menyertai”.

Senin, 19 November 2012 dini hari
            Suara jet tempur meraung-raung tepat di atas kota Gaza, disusul dengan suara ledakan keras yang mengejutkan Ummi di sepertiga malam itu. Ia yang seperti biasa tengah tenggelam dalam munajat bersama Rabb-Nya mengadukan segala keluh kesah, meminta di karuniai kekuatan dan keteguhan hati dijalan ini.
            Bersamaan dengan itu, Abi dan kedua putranya hampir mencapai Al-Nasser ketika tiba-tiba dari kejauhan sebuah rudal dari jet tempur Israel F16 menghantam kendaraan mereka dan Duaarrr!!! Suara ledakan itu membangunkan siapa saja yang tengah terlelap malam dalam buaian mimpi, darah mengalir, semua luluh lantak tak bersisa. 11 jenazah dengan tubuh terkoyak dan puluhan lainnya luka-luka di temukan tepat di sekitar lokasi ledakan. Langit dini hari Gaza diselimuti jutaan dawai kesyahidan yang menghapuskan rasa pilu. Mereka kembali kepada Rabb-Nya dalam pelukan sejuta malaikat.
            Jerit histeris warga, teriakan “Allahu Akbar” menggema mengiringi proses evakuasi 11 jenazah dalam minibus itu. Tim medis dan warga berusaha membawa jenazah ke Rumah Sakit Al-Quds untuk di identifikasi. Tangis membuncah mengiri proses evakuasi korban ledakan tersebut.
            Ummi, barangkali menjadi salah satu yang pertama kali menerima kabar peristiwa itu, Aisha masih tak mengerti kenapa semua orang berusaha untuk meluapkan rasa simpatinya pada Ummi. Ada apa? Aisha sungguh belum mengerti apa yang terjadi hingga membuatnya harus berada dalam rombongan orang-orang menuju Rumah Sakit Al-Quds ini. Barulah ketika mereka tiba di Rumah Sakit Al-Quds, Aisha tahu ada sesuatu yang tak beres di sini. Ummi yang terlihat tegar, Ummi yang terlihat begitu tangguh sejatinya menangis walau kemudian di hapuskan oleh janji Allah yang pasti itu.
            Di tatapnya jasad Kak Ammar dan Kak Jabal satu persatu. Dadanya membuncah oleh tangis yang coba ditahannya. “Kita akan berkumpul lagi di surga anakku, Insya Allah,” ucapnya lirih.
            Berat langkah kaki Ummi menuju jasad Abi.
“Abi, Ummi ridho dengan ketetapan Allah ini, semoga darah syuhada yang mengalir hari ini adalah bahan bakar yang terus mengobarkan semangat jihad Ummi dan Aisha serta seluruh ummat Muslim di dunia ini,” bisik Ummi lirih.
            Aisha baru mengerti dengan jelas detik itu. Ia tak menangis, Aisha tahu Abi, Kak Ammar dan Kak Jabal tidak pergi meninggalkan Aisha. Tapi mereka kembali. Mereka kembali kepada Allah, seperti bisik Abi dulu kepada Aisha, Abi akan menemuinya kembali di surga, Insya Allah. Tunggu Aisha Abi, Kak Ammar, Kak Jabal. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merajut Cinta

Ketika Ikhwah Jatuh Cinta

Perkenankanlah Aku MencintaiMu Semampuku