BELAJAR DARI KODOK YUK
Pernah suatu ketika seorang ahli Biologi melakukan suatu percobaan
terhadap seekor kodok untuk mengetahui respon morfologi dan anatomi kodok ketika ditempatkan
pada lingkungan dengan temperature yang berbeda.
Percobaan pertama
dilakukan dengan berusaha mencemplungkan kodok tersebut kedalam air yang telah
mendidih, tapi yang mengejutkan peneliti tersebut adalah si kodok langsung saja
meloncat ketika hendak dicemplungkan kedalam panic, karena dia tau bahwa air itu
ternyata sangat panas.
Kemudian peneliti itu memutar otak untuk mencoba cara lain melakukan
penelitiannya terhadap kodok tersebut. Peneliti itu mencari sebuah tutup untuk
menutup panci tersebut agar kodok tersebut tidak meloncat ketika dimasukan
kedalamnya. Kemudian si peneliti berusaha untuk mencemplungkan kodok tersebut dengan tangan
kanannya. Dan dengan kanan kirinya ia berusaha untuk menutupnya. Tapi justru
yang terjadi adalah kodok tersebut meloncat dan mendorong tutup tersebut hingga
tutup tersebut terlempar dari tangan si peneliti. Lagipula, apa yang bisa
peneliti itu lihat dari kodok ketika pancinya ditutup?
Peneliti tersebut nyaris dibuat frustasi oleh ulah kodok
tersebut. Kemudian peneliti kembali melakukan percobaan dengan cara yang
berbeda. Dia memasukan kodok tersebut kedalam panci yang berisi air dingin.
Berenanglah kodok tersebut dengan senang hati didalam panci, kemudian setelah
itu si peneliti memanaskan panci tersebut secara perlahan. Awalnya kodok
tersebut enjoy-enjoy aja berenang didalam panci. Saat suhu airnya mulai
menghangat, ia tetap berenang biasa saja di dalam panci tersebut. Akan tetapi, lama-kelamaaan kodok
tersebut mulai gelisah. Air tempatnya berenang secara perlahan-lahan bertambah
panas hingga memunculkan uap air dan membuatnya berenang berputar-putar hingga pandangan
kodok itu menjadi kabur dan mati seketika ketika air itu mendidih.
Pada kenyataannya peneliti tersebut pun tidak mendapatkan
hasil percobaan mengenai respon morfologi dan anatomi dari si kodok. Tetapi
justru hal lain yang lebih berharga dari itu semua. Apabila kita terbiasa pada lingkungan
yang baik dan sesuai dengan fitrah kebaikan yang dimiliki oleh manusia. Maka,
sekali saja ia menyaksikan kejahatan atau kemaksiatan didepan matanya, ia akan
menolaknya dengan tegas dan segala cara. Sebagaimana si kodok yang langsung
melawan di dalam lingkungan yang panas tadi.
Berbeda halnya ketika kita
memang sedikit permisif dan membiarkan keburukan dan kejahatan itu ada
disekitar kita, menikmati aktivitas yang sebenarnya membahayakan diri kita
meskipun kita tahu tanda-tandanya sudah semakin nyata dan nampak didepan mata
bahwa itu adalah kesalahan atau kemaksiatan. Tapi apa? Kita masih saja
menoleransinya. Menganggapnya hanya masalah kecil dan sepele. Lalu? Apakah yang
akan terjadi selanjutnya? Mungkin memang bukan jasad kita yang mati seperti si
kodok. Tapi, hati kitalah yang perlahan mati, keimanan kita tak lagi peka akan
kemaksiatan, hingga pada akhirnya kita memang akan benar-benar tenggelam
didalamnya. Na’udzubilahi
min dzalik.
Jadi, siapa bilang lingkungan
tidak akan mempengaruhi kita? Think again!
Komentar
Posting Komentar