Sandal Jepit Ijo...
Terselip rasa bangga ketika sms
dari adik kelas itu kubaca. Merasa menjadi seseorang yang di ajeni kalo bahasa jawanya. Ketika sore
itu Rohis mengadakan lomba MTQ tingkat sekolah untuk menyeleksi peserta yang
akan diwakilkan mewakili sekolah dalam lomba tingkat kecamatan beberapa minggu
lagi, aku beserta dua orang lagi temanku dimintai bantuan untuk menjadi dewan
juri dalam salah satu cabang lomba yang dipertandingkan.
Kupersiapkan
segala keperluan untuk menyambut hari itu, salah satunya adalah penampilanku.
Karena aku percaya bahwa kesan pertama orang yang bertemu dengan kita adalah
dari penampilan. Saat itu kukenakan baju kotak-kotak perpaduan warna hitam,
coklat, dan merah tua, rok hitam dan jilbab merah marun. Perpaduan yang manis
sekali. Plus ditambah sepatu hitam yang menambah keanggunan langkahku.
Tapi
lihatlah, baru kusadari bahwa saat itu ada satu hal teramat penting yang
kulupakan, itulah yang kemudian meyebabkan Allah menegurku dengan sangat halus.
Allah terlampau menyayangi hambaNya. Ada yang aneh dengan sikapku kala itu. Aku
lupa, lupa bahwa pakaian kesombongan itulah yang justru kukenakan, bukan
pakaian-pakaian atau sepatu-sepatu feminim itu. Ah, Aku lupa bahwa Pakaian
kesombongan itu hanya kepunyaan Allah semata, dan Allah tidak akan pernah
meridhoi jika pakaian itu dipakai oleh hambaNya yang hina ini. Aku malu karena
aku baru tersadar ketika teguran itu tiba, tepatnya ketika sepatu yang
kukenakan tiba-tiba rusak dan tak bisa kukenakan lagi di tengah jalan. Ya Allah
inikah teguranMu untukku yang saat itu tak mampu menahan diri.
Tidak
sampai disitu, sekali lagi Allah menunjukan rasa sayangnya padaku dengan
menghadirkan sepasang sandal japit berwarna hijau yang tergeletak tepat di
depanku entah kenapa tanpa pikir panjang langsung saja kupakai sandal jepit itu,
padahal aku tau betul bahwa sandal itu milik salah seorang kuli bangunan di
sekolahku yang ia tinggalkan begitu saja di koridor dekat mushola.
Belum
selesai Allah menegurku, ketika beberapa menit kemudian bapak-bapak pemilik
sandal itu bersimpangan denganku disepanjang koridor kelas yang masih
berantakan karena masih dalam proses pembangunan. Aku tak mampu menahan sikapku
yang langsung salah tingkah dan serba salah atas tatapan aneh bapak itu
terhadapku yang secara ‘sengaja’ meminjam sandalnya tanpa izin. Duh, maafkan
saya ya Pak! Saya janji akan mengembalikan sandal ini secepatnya. Tapi, kalimat
itu sepertinya terhenti di kerongkongan dan tak terucap sama sekali dari mulut
ini. Hanya diam yang tercipta, sedangkan kalimat itu sempurna hanya mengendap
dalam batin, dengan wajah tertunduk kupercepat langkahku menuju ruangan yang
telah disediakan. Semua itu mungkin efek dari rasa bersalah dan malu yang
kemudian terakumulasi menjadi satu.
Mungkin
kejadian itu hanya sepele, tapi dari situlah aku belajar bahwa kita adalah
hamba yang sangat lemah, mudah sekali diiming-imingi dunia. Bisa jadi teguran-teguran
kecil itu sering hadir di sekitar kita, tapi tak jarang juga sering kita
lupakan. Lalu, bagaimanakah dengan teguran Allah yang lebih besar?. Na’udzubillahi min dzalik. Semoga Allah
senantiasa memberikan kepekaan pada tiap jiwa-jiwa kita untuk tidak mengabaikan
teguran-teguran dan petunjukNya. Allohuma
Aamiin. #hijautoska
Komentar
Posting Komentar