Egois Pergilah Jauh-Jauh



           
Masih ingat berapa kali kita memikirkan diri kita dalam satu hari? Coba deh dihitung! Udah ketemu jawabannya? Huaaa sering banget ya? hampir tiap waktu, tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detik. Mulai dari bangun tidur sampe tidur lagi, dari mulai ujung kepala sampe ujung kaki, kita pasti mikirin diri sendiri, sampai-sampai tak terhingga ketika harus dikalkulasi jumlahnya. Nah, sekarang coba dibalik, seberapa sering orang lain kita pikirkan dalam satu hari? Sudah coba dihitung? Berapa kali coba? Hehe sudah-sudah jawabannya boleh didalam hati kok. Benarkah karena itu kita jadi lupa buat mikirin orang lain juga? Hmm logis juga sih, karena terkadang sesuatu itu baru akan terasa ada ketika kita benar-benar kehilangannya. Begitu juga dengan aktivitas kita memikirkan orang lain, terkadang kita baru sadar untuk memikirkan mereka ketika satu per satu dari mereka mulai pergi meninggalkan kita. Lantas, pertemuan demi pertemuan, interaksi demi interaksi yang kita jalin selama ini seolah terasa hambar ketika kita tidak pernah menyempatkan diri untuk memikirkan orang-orang disekitar kita.
                Andaikan saja kita tercipta sebagai satu-satunya orang yang hidup didunia ini, sah-sah saja ketika kita selalu memikirkan diri sendiri. Tapi kita harus realistis bukan? Kita hidup didunia ini dalam sebuah kehidupan sosial yang mengharuskan kita untuk menjalin hubungan dan relasi dengan mereka. Meskipun orang yang hadir silih berganti, pasti ada saat-saat dimana kita harus menjalin kerjasama dengan mereka, kehidupan sosial menuntut kita untuk itu. Kita gak bakalan bisa hidup sendiri dijaman- kekinian seperti sekarang ini. 
                Coba bayangin aja, ketika kepentingan untuk saling memikirkan satu sama lain itu tidak pernah ada dimuka bumi ini. Bisa jadi tatanan kehidupan akan benar-benar runyam. Sesuap nasi yang setiap harinya kita konsumsi bisa jadi tidak akan  pernah kita rasakan lagi kelezatannya karena para petani hanya menanam untuk dirinya sendiri, tidak menaruh peduli pada orang lain dengan menimbun atau menolak untuk menjualnya tengkulak hingga sampai ketangan kita. Sibuk memikirkan kesenangan diri. Atau yang lebih ekstrim lagi adalah ketika tidak ada lagi kepedulian masyarakat terhadap tetangganya yang meninggal dunia. Tak mau ambil pusing untuk mengurus jenazahnya, dibiarkan tergeletak begitu saja. Bisa jadi kita sudah gak bisa jalan lagi ditanah ini karena saking banyaknya jenazah-jenazah bergelimpangan tak terurus. Naudzubilahimindzalik
                That’s why memikirkan orang lain itu penting!
                Kita mungkin masa bodoh, tapi Allah tidak akan pernah. Ia Maha melihat apa yang dilakukan hambaNya. Ketika penyakit hati yang bernama ‘Egois’ itu menghinggapi diri yang pertama kali harus diperiksa itu ya si segumpal daging dalam dada- (baca:Hati). Meskipun terminologinya memikirkan, yang berkeja disini adalah hati. Jika sinyal peka sudah tak aktif lagi, tak usah menunggu lama lagi hingga empati dan simpati pun akan ikut-ikutan mati. Apalagi saat sekarang ini, dimana kejatahan, kemaksiatan dan perbuatan tercela merajalela dimana-mana. Masihkah kita ‘Egois’ untuk bertahan dalam Kebaikan Individu? Jangan sampai kita merasa nyaman dan terlena dengan kebaikan untuk diri sendiri hingga  lupa bahwa ada juga misi untuk perbaikan Individu dan Masyarakat yang juga harus dilakukan. Mulai dari Hati yang peka dan risau, semoga kita tidak menjadi orang-orang yang TAK lupa akan hakikat memikirkan orang lain dalam rangka perbaikan individu, masyarakat hingga sebuah negara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merajut Cinta

Ketika Ikhwah Jatuh Cinta

Perkenankanlah Aku MencintaiMu Semampuku