Mimin dan 25 Pagi itu…

                Hari ini kosku kedatangan penghuni baru. Dari yang semula berjumlah 4 orang kini bertambah satu lagi jadi 5 orang. Anak baru berkulit sawo matang itu bernama Mimin. Tubuhnya nggak tinggi-tinggi amat, mungil gitu. Yah namanya emang terkesan sederhana dan khas pengelola grup WA. Usianya sekitar satu tahun dibawahku, 18 tahunan lah. Kebetulan juga adek tingkatku di MIPA. Karena angkatanku lebih tua darinya, ia dengan spontan langsung memanggilku dengan sebutan Mbak Nisa. Dia sekarang masuk semester dua dikampusku. Sedangkan aku masih santai-santai nokrong di semester 4 seperti tanpa beban.
Kesan pertama melihatnya…

                Menurutku Mimin ini anaknya polos banget, saking polosnya aku bahkan menganggapkan terlalu kampungan. Duh maaf ya Min, terlebih ketika melihat selera fashionmu itu lho. Belum lagi pas mendapatinya berangkat kekampus untuk pertama kalinya selepas OSPEK dengan penampilan WOW waktu itu. Jangan salahkan aku ya Min ketika bertemu denganmu terpaksa aku harus pura-pura amnesia karena nahan malu saat kau menyapaku ditengah kerumunan teman-teman HIMAku beberapa waktu yang lalu. Aduh, bagimana ya? Semrawut, tabrak lari, oldist atau apalah sebutannya. Baju lengan panjang warna ijo tua dikombinasikan dengan rok kotak-kotak warna merah marun plus jilbab segi empat warna kuning ungu menyala berkibar-kibar tertiup angin. Wuiih gile! Kesan norak semakin kental saat melirik kaus kaki garis-garis abu-abu yang ia kenakan.
                Seakan belum lengkap keudikannya, ternyata sikap Mimin juga ndeso. Anaknya terlalu culun dan kagak ada gaul-gaulnya sama sekali. Pokoknya kurang gimana gitu, makanya seribu satu jurus penolakan akan ku utarakan saat ia mengajakku pergi bareng kekampus. Yah aku gitu lho yang notabene aktif di Ormawa. Apa kata orang kalo harus bareng sama anak satu itu. Ada rasa risih yang enggan pergi ketika bersamanya. Duh jahat banget! Sebenernya engga juga sih, habisnya anak-anak satu kos juga gitu, ogah sama Mimin.
Pagi pertama dikos yang bercat biru muda..

                Semburat matahari kekuning-kuningan di ufuk timur perlahan muncul membangunkan seluruh isi kos. Ada suara-suara aneh yang tiba-tiba menghebohkan seluruh penghuni kos pagi itu. Terdengar mantra-mantra lirih dari ujung kamar deket kamar mandi. Mataku yang masih 5 watt terpaksa harus bersinar mendapati gelombang suara yang asing terdengar dikosan kami. Kusibak selimut hijau toskaku dan kertas-kertas folio yang berserakan disana-sini karena laporan yang kulembur semalam belum juga kelar. Ah bodo amat!
                Kukucek-kucek lagi kedua mataku dan berjalan sempoyongan keluar kamar.  Hey What happened? Makin dekat kekamar mandi makin kenceng aja itu mantra terdengar. Ada aksen Arab dari suara-suara itu, makin jelas makin lembut saja suaranya. Wah sepertinya ada yang mengaji, salah satu aktivitas asing dikos ini. Dulu banget Mbak Ninda suka ngaji terbata-bata, tapi semenjak jadi cewek sibuk, aktivitas itu hanya tinggal kenangan terindah.
                Biasanya nih ya, pagi hari dikos kami selalu diwarnai ulah Chaca dengan musik-musik Dangdut koplo kesayangannya sambil jejingkrakan ngikutin alunan lagu. Duh, kadang aku khawatir dengan anak satu itu. Kalo ditegur, seperti biasa Chaca pasti pura-pura ngga denger  atau bersikap cuek bebek sambil bilang “Ah Mbak Nisa, kayak nggak tau Chaca aja, musik itu penghibur jiwa mbak!” gitu. Batinku, penghibur jiwa sih penghibur jiwa, tapi kalo nyetelnya pake volume maksimal plus bikin seantero kosan jengkel, bukan lagi penghibur jiwa namanya.
                Yah maklumlah, ia adalah anak pemilik kos ini. Anak bermata sipit itu juga satu kampus denganku, bedanya ia anak fakultas lain. Meskipun jarak rumahnya nggak jauh-jauh amat dari kampus, ia memilih untuk tinggal dikos ini. Mau belajar mandiri katanya. Aku sih oke oke aja dia mau nyetel lagu-lagu itu. Tapi masalahnya, anak satu itu suka bikin sensasi. Kadang ngajak temen seganknya buat nginep dikos, semalem suntuk karaokean bareng. Eh paginya, masih juga nyetel itu lagu pake volume diatas normal sambil jejingkrakan gak karuan. Duh ampun deh!
                Tapi pagi ini hening. Sebenernya sudah sejak 5 hari yang lalu setiap pagi selalu hening. Akunya aja yang kadang telmi (baca: telat mikir) kagak sadar ada yang berubah dari sikon kos ini. Mungkin Cacha juga takut kualat, akhirnya membiarkan alunan tilawah Mimin dan memuseumkan sementara musik Dangdut koplonya. Hahaha Rasain!
                “Fabiayyi ala irabbikumatukadziban…”
                Suara Mimin membiusku, ya ampun suaranya itu lho lembut banget. Apa iya sih suaranya Mimin selembut itu? Daripada mati penasaran kuberanikan diri menuju kamar si doi. Perlahan kubuka dan sedikit mengintip. Wah ternyata bener suaranya Mimin. Ada butir-butir bening yang mengalir dari ujung matanya ketika membaca kalam Illahi itu. Duh sampe segitunya..
                Brakk.. tiba-tiba terdengar suara pintu yang ditutup dengan keras dari kamar Chaca sia anak gaul itu. Seringkali kutangkap tatapan-tatapan sinis dan sindiran yang ditujukan ke Mimin versi anak penggila Dangdut koplo itu. Mungkin saking polosnya Mimin, kayaknya Chaca butuh jasa alih bahasa untuk menerjemahkan sindirannya itu. Lha wong si doi tetap tenang-tenang aja tuh digituin. Aku kadang menahan tawa ketika Chaca snewen dengan sikap Mimin.
Pagi Kesepuluh Mimin dikos..

                Hari minggu ini lagi nggak agenda dikampus, kuliah libur, proker-proker Ormawa kebetulan juga lagi kosong. Yey senangnya! Tapi ada yang beda, biasanya selepas sholat subuh, kalo lagi hari minggu aku balik tidur lagi. Namun pagi ini, suara lembut Mimin seakan menyihirku untuk tetap terjaga, ya suaranya memang bagaikan magnet dipagi hari yang menarikku untuk mendekati kamarnya. Memastikan sehabis ngaji ini Mimin tidur lagi nggak ya?
                “Eh Mbak Icha, ada apa mbak? Sini masuk”.
                Tiba-tiba wajah bulat dengan mata bercahaya itu menyapaku, senyum yang tersungging dibibirnya itu menambah keteduhan wajahnya yang masih sangat polos.
                Kikuk aku menjawab, sesaat aku mematung kehabisan kata. Yah ketahuan deh.
                “Oh enggak dek, makasih. Ini mbak mau pinjem Tip-x ada nggak?”. jawabku terpaksa berbohong.
                “Ada Mbak, bentar ya”.
                Masih dengan senyum yang sama, di ulurkannya Tip-x warna merah menyala itu. Akupun buru-buru ngacir balik lagi kekamar sambil nahan malu.
                “Makasih ya dek Mimin”.
                Tak kudengar lagi suaranya, tiba-tiba dari ujung kosan terdengar bunyi klontang-klontang. Oh God! Aku baru ingat sisa panci dan mangkuk-ku semalam buat mie instan belum ku cuci, langsung buru-buru aku menuju dapur. Bibirku menganga mendapati tangan-tangan mungil Mimin sudah penuh dengan busa sabun mencuci mangkuk dan panci semalam menjadi kinclong. Duh jadi nggak enak, Thank you Dear!
Pagi ke 20 setelah Mimin datang

                Sudah beberapa hari ini hari-hariku dipenuhi dengan kesejukan. Aneh! Semenjak kehadiran Mimin, aku mendadak rajin menyimak aktivitas ngajinya kala pagi itu. Belum lagi aktivitas shalat malamnya yang syahdu itu, yang mengingatkanku akan dosa-dosa yang membumbung tinggi, Astagfirullah. Karena kamar kami hanya berbataskan triplek, kadang kami bisa mendengar desah lembut do’a-do’a yang kami panjatkan. Beberapa hari inipun ada yang berbeda dari penghuni kos, Ayuk si penyayang kucing itu juga mendadak jadi ikut-ikutan ritual disepertiga malam Mimin. Ada-ada saja do’a yang ia panjatkan. Mulai dari IP bagus, lulus Cumlaude, jodoh yang ganteng dan sholeh, hingga keselamatan Manis kucing Anggoranya yang mau melahirkan. Hahaha.
Mbak Ninda yang lagi sibuk dengan skripsinya juga jadi sering ngaji kayak Mimin, mungkin merasa ada teman seperjuangan kali ya. Ayuk yang stylist abis juga jadi rajin nyuci baju sendiri. Ayuk Nyuci baju? Tumben gitu lho. Biasanya anak satu itu rada males kalo berurusan sama kegiatan nyuci baju sendiri, selain karena latar belakangnya anak orang tajir yang biasanya dicuciin asisten rumah tangga, ia juga ogah en takut kalo kulit tangannya pecah-pecah dan jadi kasar gara-gara sabun detergen. Yang diurusin ya cuma si Manis dan si Manis terus gak ada yang lain.
Mimin benar-benar men-sibghoh Mbak Ninda, dan Ayuk. Aku? Hmm, ya aku memang menyukai kesantunan Mimin. Akan tetapi aku belum tertarik untuk ikut-ikutan rajin bin alim. Sepertinya semua anak dikos kini menyukai Mimin, kecuali Chaca. Beberapa hari lalu ia ngungsi balik kerumahnya selama 4 hari. Strees kali gara-gara pamornya sebagai penguasa kos agak meredup selepas kehadiran Mimin. Anak-anak lebih suka bantu Mimin bersih-bersih setelah mengaji daripada harus uring-uringan menyikapi lagu-lagu Dangdut koplo Cacha yang gak ketulungan itu.
Pagiku kini selalu indah. Entahlah bagaimana kondisi siang dan sore hari, aku tak terlalu bisa membacanya, biasa aktivis kampus ceritanya. Sibuker gitu.
Pagi keduapuluh lima

                Seperti biasa anak-anak masih tenggelam dalam tilawahnya, sementara Cacha sudah kembali dikos dan menunjukan eksistensinya. Kini speaker yang biasanya ada dikamarnya  ia pindahkan diluar. Duh! Semakin ekstrim aja itu anak.
                Aku pun kini mulai ikutan-ikutan aktivitas anak-anak kos, sepertinya ngaji asik juga, kuusap debu-debu tipis yang menyelimuti Al-qur’an pemberian ibukku itu. Tanpa sadar aku mulai tenggelam membaca ayat-ayatNya, ada rasa haru yang membuncah dalam dadaku.
Pagi Keduapuluh enam

                Hari ini seisi kos dihebohkan dengan omelan Chaca pada Mimin pagi menjelang siang itu.
                “Min, aku keberatan kalo kamu tiap pagi ngaji-ngaji terus! Panas aku dengerinnya. Itukan jatahku buat nyetel musik”.
                “Nyuwun ngapunten mbak Cacha, ini sudah jadi kebiasaan saya”. Jawab Mimin dengan santunnya.
         “Tapi kamu bisa menghentikannya kan?”. Cacha tanpa basa-basi langsung  frontal menyampaikan perintahnya.
                “Tapi mbak Cacha.. maaf saya ndak bisa kalo untuk itu”.
                “Halah, gaya banget sih kamu Min. Udah nggak usah sok alim lah”. Cacha makin sinis.
                Sepertinya kesabaran Cacha mulai habis, si Manis yang asik-asikan tidur diujung pintu ditendang Cacha dengan seenaknya. Seolah menjadi pelampiasan dari kemarahan Cacha pagi itu. Kucing betina itu mengeong kesakitan. Padahal Manis lagi berbadan banyak alias lagi hamil. Duh jahat banget sih Cacha sama si Manis.
                Cacha, kamu kok kasar gitu sih sama si Manis!” kata Ayuk Protes.
                “Diam kamu Yuk, kamu nggak usah ikut campur!” seru Cacha.
                “Mbak Cacha, ndak boleh kasar gitu dong sama hewan, ndak usah bawa-bawa si Manis, kan kasian” kata Mimin menimpali.
                “Hey anak kampung! Ini itu urusanku. Kalo kamu nggak suka, kamu boleh kok minggat aja sini!” seru Cacha geram.
                Melihat posisinya yang tidak menguntungkan itu. Cacha pun memutuskan untuk pergi, didorongnya tubuh Mimin yang mungil itu hingga sedikit goyah. Sementara itu, Aku dan Mbak Ninda hanya terdiam. Terpana dengan tragedi bombastis barusan.
Pagi keduapuluh tujuh..

                Tingkah laku Chaca semakin menggila, di seluruh isi kos ditempelinya poster-poster cover album penyanyi dangdut kesayangannya itu. Tidak cukup sampai disitu. Disetelnya musik Dangdut koplo itu dengan volume diatas normal semalam suntuk. Aku semakin tak tahan dengan tingkahnya, aku berteriak sekencang-kencangnya. “Hoii berisik!” Ternyata tetap saja tak berefek, akhirnya kami menggunakan perangkat audio milik mbak Ninda untuk menyetel murrotal dengan suara lantang bin maksimal. Ajaib! Suara musik-musik tak jelas itu berhenti, terdengar suara pintu dibanting. Dalam hitungan detik Cacha sudah berada didepan kamar Mbak Ninda, tempat kami berkumpul.
                “Pergi kamu Min, dari kos ini!” bentak Cacha dengan muka merah padam.
                “Tapi mbak..” protes Mimin
                Pergi.. Pergiii!, kalian juga pergi sana kalo sudah bosan dengan kos ini”. teriak Chaca seperti orang kesetanan.
                Kami semua terdiam, menyesali perbuatan kami yang membuat Mimin dipaksa hengkang dari kos ini.
Hari pertama selepas Mimin pindah kos

                Mimin benar-benar pergi. Ia pindah di Pondok Pesantren Mahasiswi deket kampus, Ayuk juga jadi ikut-ikutan pergi, adek tingkatku yang satu itu pindah di salah-satu kos binaan masjid kampus siang harinya. Sedangkan aku dan Mbak Ninda masih setia menghungi kos ini. Mbak Ninda sudah sidang skripsi dan tinggal menunggu wisuda bulan depan. Jatah kosku masih 2 bulanan lagi. Sayang sih kalo mau ditinggal. Sementara tingkah Cacha semakin menggelisahkanku. Uhhh..

Spesial to Dek Mimin Shalihah: Keep istiqomah ya dek!

Berdasarkan cerpen dari majalah Annida, dengan pengubahan. Semoga bermanfaat ^^





               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merajut Cinta

Ketika Ikhwah Jatuh Cinta

Perkenankanlah Aku MencintaiMu Semampuku