Selalu Ada Sisi Baik



Izinkanlah aku sedikit berbagi mengapa kupilih jalan ini..
Ya, mungkin setelah ini banyak yang kecewa atas jalan yang kupilih, menyesalkan pilihanku yang berbeda dari kalian, menyayangkan karena katanya sikapku berubah, percayalah kawan, aku masih seperti yang dulu, masih tetap saudara kalian. Ketika kuputuskan untuk bergabung dalam gerak langkah itu, aku tahu konsekuensi seperti apa yang akanku hadapi kelak. Bisa jadi kalianlah yang pertama, perlahan dan sedikit demi sedikit menjaga intensitas diskusi-diskusi denganku, meminimalisir perbincangan yang katanya justru semakin memperlebar jarak di antara kita, aku ingat perdebatan-perdebatan yang kita lalui anatar siapa yang harus mengalah ketika rasa kesal kembali membuncah. Itu Nasehat untukku agar Aku semakin erat merangkul dan menjaga ukhuwah yang terlalu indah ini. Aku bukannya tak pernah kecewa seperti kalian, tapi kalau mengingat kembali bagaimana aku sebelum berada dibarisan ini, rasanya tak pernah sedikitpun terbersit pikiran untuk pergi. Aku ingin dijalan ini, dijalan dakwah ini selamanya, menua bersama mereka, meretas jalan menuju surga.. InshaaAllah. Ah rasanya, kita sudah semakin dewasa menyikapi ini.
Saudaraku sayang, sudah sejak lama sebenarnya rasa cinta pada jalan ini mengendap di hati, sejak pertama kali aku mengenalnya. Aku ingat pertama kali bertemu dengannya, hatiku berdesir.
Hanya saja mungkin kalian baru mengetahuinya sejak beberapa hari lalu. Kalian kini tahu, bahwa aku pun memiliki pilihan, seperti halnya aku mengenal kalian dengan pilihan-pilihan kalian. Ada kegelisahan yang muncul ketika kulihat, diluar sana banyak pula yang berusaha terlihat berbeda padahal sejatinya mereka sama.
Jika sampai dititik ini kalian masih bertanya-tanya kemana arah goresan tinta ini, baiklah. Akan kupertegas saja. Analoginya seperti ini, seperti kata salah satu seniorku. Ia sempat bertanya padaku, apa yang akan ku lakukan ketika menemui ‘kotoran’ ditempat ku beraktivitas sehari-hari? Pilihan ada banyak bukan? Ada pilihan untuk membiarkannya begitu saja dan tetap beraktivitas seolah tidak terjadi apa-apa dan ada pula pilihan untuk berusaha membersihkan kotoran itu tanpa harus mengotori diri.
Diluar sana, banyak suara yang mengatakan bahwa aku akan ikut kotor ketika menyentuh kotoran itu. “Kamu yakin mau melumuri tanganmu yang awalnya bersih itu dengan menyentuhnya hah..?”
Aku hanya bisa tersenyum ketika suara itu benar-benar sampai ditelinga. Tapi, izikan aku menjawabnya disini, jika dikau disana berpikir bahwa jalan yang kuambil itu dipenuhi dengan kotoran yang mengancam kebersihan diri, ketahuilah mau sampai kapan kita membiarkan kotoran itu ada disana? Harus ada yang bergerak, harus ada langkah untuk memulai membersihkannya. Itulah yang kupilih kawan, aku percaya masih ada banyak cara baik yang bisa dilakukan untuk membuat lingkungan itu menjadi bersih kembali.
Analogi ini mungkin memang terlalu dangkal dan sederhana, kalian pun boleh berpendapat lain. Aku tidak heran, karena jalan itu memang seperti ini..
                Salah satu Dosen di fakultas sebelah pun pernah menyinggung masalah ini. Itulah bedanya penonton dengan pemain sepak bola. Mereka bisa jadi berpakaian seragam yang sama, lengkap dengan nama dan nomor punggung, hadir dalam waktu dan tempat yang sama di stadion. Tapi kita lihat disini bedanya, penonton hanya akan berteriak-teriak dipinggir lapangan, duduk atau berdiri dengan berbagai atribut, riuh mengomentari ini itu. “Ah pemain nomor 11 itu harusnya begini.. harusnya begitu!”. “Ah payah sekali, kenapa bolanya tidak dioper ke pemain yang lain, huu egois.. dan seterusnya”. Sedangkan pemain, ia dengan peluhnya menggiring bola, masuk ke area pertandiangan yang sesungguhnya, bertekad pada tujuan bersama timnya. Bekerja dengan sigap, penonton atau bahkan komentator dari luar lapangan yang riuh menyuarakan ini itu bisa jadi memang berpengaruh dengan dukungannya. Tapi ia berbeda, ia tak merasakan sensasi berjuang ditengah lapangan. Begitulah yang sering terjadi dijalan ini, banyak yang seringkali masih masa bodoh. Jujur, akupun khawatir dan dihantui kesedihan yang sama dengan Bapak Dosen itu. Bisa jadi diri ini memang masih bermental penonton. Semoga aku, kamu, kita semua tidak menjadi manusia yang bermasalah dengan seruan langkah ini. Jangan sampai menjadi manusia-manusia beracun yang hilang orientasi dan  minim konstrubusi.
Semoga catatan ini menjawab salah satu pertanyaan dalam kertas itu:
Aku pun membaca rasa sayang yang membuncah tersirat pada catatan-catatan kecil itu. Apalagi namanya kalau bukan sayang ketika nasehat menasehati itu menjadi suplemen penuh nutrisi untuk saudaranya? Terimakasih Ayyuhal Ikhwah. Tetaplah begitu “Karena Cinta pada dakwah inilah yang akhirnya membuat energi kita selalu besar, selalu ada, dan terus ada untuk memperjuangkan dakwah kita” (Pak Cah).

#BiarkanHarapanBerceritaTentangDirinya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merajut Cinta

Ketika Ikhwah Jatuh Cinta

Perkenankanlah Aku MencintaiMu Semampuku